JT – Persoalan kemacetan yang seolah tiada akhir di DKI Jakarta terus menjadi perhatian, termasuk dalam debat terakhir calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Meski transportasi publik seperti Transjakarta, MRT, LRT, dan KRL terus diperbaiki dari sisi kualitas maupun kuantitas, upaya untuk mengalihkan pengguna kendaraan pribadi ke transportasi publik masih menjadi tantangan besar.
Data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2023 mencatat bahwa hanya sekitar 18,86 persen atau empat juta dari 21,75 juta pelaku perjalanan yang menggunakan transportasi publik. Pemprov menargetkan 60 persen warga Jakarta menggunakan transportasi publik pada 2030 seiring pengembangan layanan dan fasilitas transportasi umum.
Baca juga : Wagub DKI Rano Karno Ingatkan Warga Waspadai DBD dan Potensi Rob
Untuk itu, Pemprov DKI Jakarta mengalokasikan APBD 2024 hingga Rp6,9 triliun, sebagian besar digunakan untuk subsidi transportasi publik seperti MRT, LRT, dan Transjakarta agar tarif tetap terjangkau. Anggaran lainnya dialokasikan untuk penertiban parkir liar, pembangunan fasilitas pejalan kaki, dan pengendalian lalu lintas.
Namun, perubahan pola pikir masyarakat dari kendaraan pribadi ke transportasi publik bukan perkara mudah. Dibutuhkan edukasi dan strategi komunikasi yang tepat untuk meyakinkan masyarakat bahwa transportasi publik saat ini lebih nyaman, aman, dan efisien.
Peran Media dalam Mengubah Perilaku
Baca juga : Periset BRIN: Drainase Jakarta Tidak Mampu Menampung Hujan Ekstrem
Di era digital, kombinasi media arus utama seperti televisi, radio, dan media daring dengan media sosial dinilai efektif untuk membangun kesadaran dan mengubah perilaku masyarakat.
Pengamat komunikasi dan pengajar Universitas Muhammadiyah Jakarta, Dr. Aminah Swarnawati Ruzbar, M.Si, mengatakan bahwa media memiliki kekuatan besar dalam mengubah perilaku masyarakat jika kontennya sesuai dengan tingkat pendidikan dan budaya khalayak sasaran.
Bagikan
