JT – Meningkatnya kekerasan dan pengusiran paksa di wilayah timur Republik Demokratik Kongo telah menyebabkan ratusan ribu anak kehilangan akses pendidikan, menurut laporan dari badan PBB untuk anak-anak, UNICEF, pada Senin (17/2).
Sejak awal tahun, bentrokan yang disertai kekerasan di provinsi Kivu Utara dan Kivu Selatan telah menghancurkan lebih dari 2.500 sekolah dan pusat pembelajaran, mengakibatkan 795.000 anak putus sekolah, meningkat drastis dari 465.000 anak yang tercatat pada Desember 2024.
Baca juga : PM Singapura Lee Hsien Loong Mengundurkan Diri pada 15 Mei 2024
Jean Francois Basse, Penjabat Sementara UNICEF di Kongo, menggambarkan situasi ini sebagai bencana bagi anak-anak yang terdampak, menyebut pendidikan sebagai salah satu elemen penting yang dapat membantu anak-anak kembali ke kehidupan normal dan membangun masa depan mereka setelah konflik.
Data terbaru PBB menunjukkan lebih dari 6,5 juta orang, termasuk 2,6 juta anak-anak, telah dipaksa meninggalkan rumah mereka di wilayah yang dilanda konflik.
Aktivis hak-hak anak, Jacques Matata, memperingatkan bahwa dengan konflik yang masih berlangsung, banyak anak mungkin tidak akan pernah kembali ke sekolah. Sebelum kekerasan ini meningkat, ribuan anak di timur Kongo sudah kesulitan bersekolah akibat pengusiran paksa.
Baca juga : PBB: Warga Gaza Ingin Bekerja, Bukan Bergantung pada Bantuan Kemanusiaan
Lebih dari 1,6 juta anak di timur Kongo saat ini tidak bersekolah, termasuk di provinsi Ituri. UNICEF kini sedang berusaha mengumpulkan dana sebesar 52 juta dolar AS (sekitar Rp845,3 miliar) untuk memenuhi kebutuhan pendidikan mendesak bagi 480.000 anak.
UNICEF juga mengimbau agar semua pihak yang terlibat dalam konflik menghormati sekolah dan infrastruktur sipil, serta segera menghentikan penggunaan fasilitas pendidikan untuk kepentingan militer, sesuai dengan kewajiban mereka berdasarkan hukum internasional.